Sabtu, 30 April 2016

Merantau; kisah kecil perantauan


Keluargaku adalah keluarga perantau. Bapakku perantau di Jayapura. Mencari kehidupan yang lebih baik dengan bekerja hingga berkeluarga disana. Disanalah aku lahir. Di tempat perantauan bapakku. Begitu juga dengan almarhum kakekku, ia dahulu adalah seorang pedagang besar. Merantau dari sulawesi bersama ayahnya untuk berdagang. Ayah kakekku keturunan bangsawan di bone. Namun ia taat dalam agamanya sehingga ia lebih memilih untuk menjadi orang biasa. Tanpa gelar bangsawan. Tanpa embel-embel anak raja, atau penerus kerajaan. Ia hanya tahu bahwa hidup didunia ini yang terpenting ialah berbuat baik. Tak peduli siapa engkau, keturunan darimana hingga seberapa besarnya hartamu. Kalau tak bermanfaat bagi kebaikan orang lain, kamu tak pantas dikenang dan hidup diantara sekumpulan manusia bahkan alam sekalipun. Itu sebabnya ia menghilangkan dua huruf ng dibelakang nama marga keluarga, pasolo. Konon meski dua huruf, jika dibunyikan, orang akan tahu bahwa itu gelar bangsawan. Entahlah. Itu cerita turun temurun. Jelas sudah bahwa haru ini siapapun tak ada yang memakai dua huruf n dan g dibelakang nama marga. Lagipula tak ada yang ingin jadi bangsawan (bangsawan dalm arti sebenarnya). Buat apa?

Oyang, begitu panggilan bapak kakekku menyebarkan agama islam di pulau maluku. Ia datang bersama anaknya (kakekku). Tentu saja melalui jalur perdagangan. Beberapa orang di daerah maluku utara maupun tenggara pernah mendengar "kesaktian" oyang. Mereka mengira oyang salah satu pendekar sakti. Oyangku terlihat "sakti" karena ia banyak mengamalkan dzikir kepada Allah, begitu cerita turun temurun dari keluargaku. Banyak hal aneh yang mereka lihat dari mendiang oyang. Satu diantaranya berpindah ke beberapa tempat bahkan buah mulut disana oyang pernah berceramah pada hari Jum'at di tiga tempat yang berbeda sekaligus. Akal masyarakat setempat tak sanggup menalarnya. Konon beberapa orang dari dataran arab pun dibuat takjub, karena oyang pernah ke tanah suci mekkah disaat belum banyak transportasi udara maupun laut kesana. Itu sebabnya pergaulannya luas bahkan konon orang arab belajar agama padanya. Oyang, kakek dan juga bapakku perantau dengan kisah masing-masing. Sebagai penyebar agama, pedagang dan menjadi abdi masyarakat, bekerja sebagai pegawai negeri itu yang dilakukan bapakku.

Lain kisah bapakku, lain juga kisah mamaku. Mama, seorang perantau sejati. Bagaimana tidak? Ia merantau sejak umur lima tahun. Selepas meninggalnya eyang laki-laki (bapaknya mama), mama tinggal bersama tantenya. Ia dibawa ke tempat yang tidak dekat dari rumahnya. Jayapura. Madiun, Jawa timur secara geografis letaknya jauh dari Jayapura. Menggunakan kapal laut butuh enam hari terombang ambing dilautan. Kapal terbang,12jam dilangit secara kumulatif. Menembus awan, diguncang angin, memandangi petir jika hujan tiba. Langsung dan nyata. Sejak kecil hingga bekerja, kemudian menikah dan memiliki keturunan, mama tinggal di Jayapura. Pulang untuk melihat kedua orang tuanya, terjadi dalam kurun waktu yang sangat lama. Entah kapan, tak tentu. Selain jarak, ongkos juga berat.

Kisah perantauan mereka berlanjut hingga ke keturunannya. Aku salah satunya. Aku merantau menuntut ilmu. Di kota pelajar, begitu orang-orang menjulukinya. Jogjakarta. Slogan aman, nyaman tentram akan kau dapati ketika pertama datang ke Jogja dan itu benar. Tak sekedar slogan seperti ditempat lainnya atau slogan kosong para politisi yang tampil dimedia televisi.

Entah sampai kapan aku disini aku tak tahu. Sudah 10 tahun memasuki tahun ke 11 aku disini. Tak tahu kenapa juga aku masih betah disini. Disini aku masih tetap sama, menjadi pelajar. Meskipun statusku kini telah menikah dan akan memiliki dua anak, insya Allah, tetap saja aku masih belum tahu kenapa aku bisa disini. Aku hanya tahu ini bagian dari takdir. Kadang aku berfikir, ketika ada orang yang berkata ilmu itu dituntut dari dicari hingga mati, masa iya, aku harus menuntut ilmu di jogja saja? Lalu kapan aku bisa bermanfaat nabi orang lain. Kapan aku bisa mengembangkan ilmuku? Kapan juga aku bisa mendapatkan tambahan ilmu yang bisa jadi dari pengalaman, dari pergaulan, juga dari tempat yang aku sendiri tak tahu. Apa mungkin aku sudah terlalu nyaman seperti ikan di laut yang berenang dilakukan lepas. Tak ada nelayan, tak ada gangguan, hanya ada gelombang, sesekali petir, dan aku menjalani proses hidup yang teduh dengan tetap menuntut ilmu. Menuntut ilmu dunia juga ilmu syar'i. Ilmu syar'i, kadang aku jenuh dan bosan, karena merasa, apa yang aku dapatkan hari ini dan hari kemarin hanya sedikit. Namun benarlah kata orang bijak, sabar adalah kunci untuk masuk ke samudra ilmu yang lebih luas lagi. Lihatlah betapa lama kita tahu bahwa Colombus yang menemukan daratan Amerika, apakah kita sudah tahu ternyata ada orang sebelum Colombus yang menemukannya? Atau, berapa lama kita tahu kita hidup menjadi budak dunia, sementara kita semua dilahirkan dengan merdeka dari rahim-rahim ibu kita?

Ini adalah kisah perantauan yang belum berakhir. Aku masih hidup, keturunanku mulai muncul satu per satu. Entah sampai mana anak cucuku akan pergi merantau, sebagai perantau aku bersyukur pernah hidup ditengah orang yang punya riwayat perantauan cukup lama. Meski sesungguhnya, kita semua adalah perantau, kita sedang menemukan jalan pulang. Kembali ke surga, atau tersesat ke neraka.

Salam rantau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar